Senin, 14 September 2015 08:36
Merdeka.com - Monopoli kerajaan bisnis Liem Sioe Lion alias Sudono Salim tidak hanya terbatas di sektor keuangan saja, namun juga untuk usaha bidang tepung Bogasari dan semen dengan perusahaan Indocement.
Monopoli Liem di bisnis tepung mendulang banyak kritik dari masyarakat. Pasalnya, dengan adanya Bulog yang memonopoli impor bijih gandum dan Bogasari selalu menjadi pihak yang mendapatkan tender untuk penggilingannya, maka kesempatan perusahaan lain untuk masuk ke bidang tersebut menjadi terbatas.
Namun, Soeharto dengan senang hati memasang badannya untuk membela sahabatnya itu. Di depan 200 pengusaha kecil dan menengah nasional, Soeharto menampik pendapat bahwa terdapat kolusi antara Soeharto dan Liem.
"Semuanya sudah salah kaprah, seolah-olah ada kolusi antara saya dan Liem. Bukan. Ini semata-mata demi kepentingan negara dan nasional," ujar dia seperti yang dikutip dalam buku biografi Liem yang bertajuk "Liem Sioe Liong's Salim Group: The Business Pillar of Suharto's Indonesia".
Soeharto melanjutkan, pada saat itu terdapat salah satu perusahaan semen asal Amerika Serikat yang ingin mendirikan perusahaan semen di Indonesia. Namun mereka meminta Soeharto untuk tidak menerbitkan izin kepada perusahaan semen yang lain. Soeharto, waktu itu berpendapat bahwa dengan adanya perusahaan AS di Indonesia, maka Indonesia akan sangat tergantung dengan import dari negara Paman Sam itu.
"Lalu saya panggil Liem dan bertanya: 'Apakah kamu sanggup membangun perusahaan semen?' dan dia menjawab: 'Ya, saya bisa'."
Selain sebagai cukong, Liem juga pernah "dituntut" untuk membalas jasanya kepada Soeharto. Hal tersebut terjadi pada kasus Bank Duta yang dinyatakan bangkrut tahun 1990. Sebesar 73 persen saham bank tersebut dimiliki oleh tiga yayasan milik Soeharto, yaitu Dharmais, Supersemar, dan Dakab. Bank tersebut juga menjadi bank terbesar yang bukan milik keturunan China.
Waktu itu Bank Duta terjebak kerugian yang sangat besar atas spekulasi valas. Bank tersebut juga hampir bangkrut. Namun, tiba-tiba salah satu yayasan pemegang saham Bank Duta mendapatkan hibah dari seseorang yang tidak diungkapkan ke publik. Namun, empat tahun setelah adanya dana tersebut, baru terungkap bahwa dana tersebut adalah dari Liem.
Rumor mengatakan bahwa Soeharto sempat bersitegang dengan Liem untuk urusan ini. Salah satu menteri pada masa itu mengatakan bahwa Liem sempat tidak diterima dengan baik selama sekitar dua minggu di Cendana karena tidak segera mengucurkan dana untuk menyelamatkan Bank Duta.
"Tapi setelah Liem mengucurkan dananya, semuanya kembali normal. Saya pikir saat itulah satu-satunya kejadian yang membuat Soeharto tidak terlalu senang dengan Liem," ujar dia.
Namun, kejadian tersebut ditampik oleh anak Liem, Anthony Salim. Dia juga menolak untuk mengakui bahwa bantuan Liem untuk Bank Duta tersebut diganti dengan jasa yang lain oleh Soeharto. Namun, dalam buku Adam Schwarz dalam "Nation in Waiting", dia menjelaskan bahwa setelah tahu Liem mengucurkan bantuan, Soeharto langsung meminta Menteri ESDM masa itu, Ginandjar Kartasasmita, untuk menyerahkan proyek pembangunan kilangnya ke Liem, meskipun kilang tersebut tidak pernah dibangun pada akhirnya.
Merdeka.com - Monopoli kerajaan bisnis Liem Sioe Lion alias Sudono Salim tidak hanya terbatas di sektor keuangan saja, namun juga untuk usaha bidang tepung Bogasari dan semen dengan perusahaan Indocement.
Monopoli Liem di bisnis tepung mendulang banyak kritik dari masyarakat. Pasalnya, dengan adanya Bulog yang memonopoli impor bijih gandum dan Bogasari selalu menjadi pihak yang mendapatkan tender untuk penggilingannya, maka kesempatan perusahaan lain untuk masuk ke bidang tersebut menjadi terbatas.
Namun, Soeharto dengan senang hati memasang badannya untuk membela sahabatnya itu. Di depan 200 pengusaha kecil dan menengah nasional, Soeharto menampik pendapat bahwa terdapat kolusi antara Soeharto dan Liem.
"Semuanya sudah salah kaprah, seolah-olah ada kolusi antara saya dan Liem. Bukan. Ini semata-mata demi kepentingan negara dan nasional," ujar dia seperti yang dikutip dalam buku biografi Liem yang bertajuk "Liem Sioe Liong's Salim Group: The Business Pillar of Suharto's Indonesia".
Soeharto melanjutkan, pada saat itu terdapat salah satu perusahaan semen asal Amerika Serikat yang ingin mendirikan perusahaan semen di Indonesia. Namun mereka meminta Soeharto untuk tidak menerbitkan izin kepada perusahaan semen yang lain. Soeharto, waktu itu berpendapat bahwa dengan adanya perusahaan AS di Indonesia, maka Indonesia akan sangat tergantung dengan import dari negara Paman Sam itu.
"Lalu saya panggil Liem dan bertanya: 'Apakah kamu sanggup membangun perusahaan semen?' dan dia menjawab: 'Ya, saya bisa'."
Selain sebagai cukong, Liem juga pernah "dituntut" untuk membalas jasanya kepada Soeharto. Hal tersebut terjadi pada kasus Bank Duta yang dinyatakan bangkrut tahun 1990. Sebesar 73 persen saham bank tersebut dimiliki oleh tiga yayasan milik Soeharto, yaitu Dharmais, Supersemar, dan Dakab. Bank tersebut juga menjadi bank terbesar yang bukan milik keturunan China.
Waktu itu Bank Duta terjebak kerugian yang sangat besar atas spekulasi valas. Bank tersebut juga hampir bangkrut. Namun, tiba-tiba salah satu yayasan pemegang saham Bank Duta mendapatkan hibah dari seseorang yang tidak diungkapkan ke publik. Namun, empat tahun setelah adanya dana tersebut, baru terungkap bahwa dana tersebut adalah dari Liem.
Rumor mengatakan bahwa Soeharto sempat bersitegang dengan Liem untuk urusan ini. Salah satu menteri pada masa itu mengatakan bahwa Liem sempat tidak diterima dengan baik selama sekitar dua minggu di Cendana karena tidak segera mengucurkan dana untuk menyelamatkan Bank Duta.
"Tapi setelah Liem mengucurkan dananya, semuanya kembali normal. Saya pikir saat itulah satu-satunya kejadian yang membuat Soeharto tidak terlalu senang dengan Liem," ujar dia.
Namun, kejadian tersebut ditampik oleh anak Liem, Anthony Salim. Dia juga menolak untuk mengakui bahwa bantuan Liem untuk Bank Duta tersebut diganti dengan jasa yang lain oleh Soeharto. Namun, dalam buku Adam Schwarz dalam "Nation in Waiting", dia menjelaskan bahwa setelah tahu Liem mengucurkan bantuan, Soeharto langsung meminta Menteri ESDM masa itu, Ginandjar Kartasasmita, untuk menyerahkan proyek pembangunan kilangnya ke Liem, meskipun kilang tersebut tidak pernah dibangun pada akhirnya.
[ian]