Kewenangan Polisi Kelola SIM, STNK, dan BPKB Digugat ke MK


Masyarakat sipil sedang menguji pengelolaan SIM, STNK, dan BPKB oleh Kepolisian ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kuasa hukum penggugat, Julius Ibrani di Jakarta, Rabu (16/9), mengatakan, sidang lanjutan diadakan siang ini  pukul 11.00 WIB, dengan agenda menghadirkan dan mendengarkan saksi.

Julius mengatakan, Pasal 30 (4) UUD 1945 menjelaskan bahwa tugas Kepolisian adalah melindungi, mengayomi, melayani, dan menegakan hukum. Semua tugas itu harus diletakan dalam kerangka menjaga keamanan dan ketertiban.

Meski demikian, dalam perkembangannya saat ini, kewenangan Kepolisian tersebut makin membesar. Salah satu contohnya adalah mengeluarkan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor (SIM, STNK dan BPKP).

“Implikasinya, tugas utama dari Kepolisian untuk menegakan hukum menjadi terbengkalai. Kepolisian lebih disibukan untuk mengurus hal-hal administratif pemerintahan,” katanya.

Bahkan, jika dilihat dari teori pemisahan kekuasaan dan kebijakan publik yang baik,  kata dia, tidak tepat sebuah institusi yang mengeluarkan suatu kebijakan (mengeluarkan SIM, STNK dan BPKP) dan institusi itu sendiri yang menegakan hukumnya.

Akibatnya, kepentingan masyarakat terhadap pelayanan publik pun terbengkalai: tingkat kematian di jalan raya 80 orang per hari dan penegakan aturan lalu lintas terabaikan.

Pada sisi lain, jika dilihat dari praktik pengelolaan lalu lintas di banyak negara, pengelolaan SIM, STNK dan BPKP tidak dilakukanleh Kepolisian. Kewenangan Kepolisian dalam pengelolaan lalu lintas hanya sebatas penegakan hukum.

“Hampir di seluruh dunia, pengelolaan registasi dan identifikasi kendaraan bermotor dilakukan oleh Kementerian Perhubungan, seperti di Malaysia, Singapura, Australia, Jerman, Inggris, dan sebagainya,” kata dia.

Bahkan di Jepang, lanjut Julius, pengelolaan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dilakukan oleh kementerian pariwisata.

Hanya di Indonesia, sebuah institusi publik diberikan kewenangan untuk mengeluarkan suatu kebijakan transportasi (SIM, STNK dan BPKP) dan institusi itu pula yang menegakan hukumnya. Sehingga sangat rentan terjadi penyalahgunaan kewenangan.

“Oleh karena itu, sejumlah warga negara yang dirugikan kepentingannya akibat sesat pikir kebijakan transportasi itu melakukan uji materil (judicial review) ke Mahkamah Konsitusi,” katanya. [PR/L-8]

Sumber: Suara Pembaruan