Minggu, 13 September 2015
Ahmad Dzakirin
Pengamat Timteng
Saya mendapat viral socmed yang memerintahkan (memaksa dengan opininya) para korban dan keluarga insiden crane untuk ridho atas takdir Allah dan tidak mengaitkan dengan aspek politik tertentu. Lebih jauh, setiap kritik atas insiden tersebut ditemalikan dengan manuver politik Barat yang dicitrakan anti Islam dan sepak terjang Syiah yang memusuhi Sunni.
Sikap ridho atas musibah sebuah hal dan akuntabilitas publik terhadap institusi politik atas sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa adalah hal yang lain. Mencampuradukkan dua hal yang berbeda (individu versus institusi politik) adalah tindakan salah dan konyol.
Setiap individu harus sabar dan ridho atas ketetapan Allah SWT, termasuk korban musibah jatuhnya kran raksasa yang menimpa jamaah haji. Tidak ada yang dirugikan di mata Allah karena mereka adalah syuhada yang memenuhi panggilan Allah dengan harta dan jiwanya.
Tuntutan akuntabilitas publik atas kecelakaan yang diduga kuat karena faktor kelalaian adalah peristiwa jamak dan lumrah karena negara berkewajiban melindungi dan menjaga keamanan warga dan tamunya dari marabahaya. AlQur'an pun memerintahkan ulil amri untuk berbuat adil dan menjalankan amanah. Dalam kaidah fiqih, ada terminologi 'La Dharar Wa La Dhirar' (Tidak boleh melakukan perbuatan yang Berbahaya dan Membahayakan).
Hilir mudik jutaan jamaah dibawah crane-crane raksasa yang menjulang ke angkasa adalah kelalaian dan kecerobohan besar. Membiarkan insiden tersebut tanpa pengusutan dan penyelidikan adalah kejahatan dan skandal politik dalam standar negara modern. Pihak-pihak yang berkaitan erat dengan musibah tersebut harus bertanggung jawab di depan hukum.
Inilah pandangan yang adil, tanpa harus menyalahkan Barat dan Syiah. Menghilangkan ketidaksalahan institusi publik atas suatu musibah dengan mengaitkan Qodho dan Qodar Allah adalah bentuk fatalisme beragama yang berbahaya dan praktik politik yang tidak sehat.
Pertanyaannya; jika ada gugatan hukum masyarakat atas mismanajemen dan kelalaian pemerintah atas musibah tersebut, apakah layak dianggap tidak ridho atas ketetapan Allah?
Dalam praktiknya, kepasrahan jamaah haji Indonesia atas buruknya pelayanan dan mahalnya biaya Haji di masa lalu dianggap sebagai sumber korupsi dan inefisiensi pemerintah.
Wallahu A'lam.