Menurut buku sejarah yang kita kenal selama ini Indonesia pernah
dijajah Belanda selama 350 tahun dan 3 tahun oleh Pemerintahan Militer
Jepang. Belanda masuk ke Indonesia (Nusantara) pertama pada tanggal 22
Juni 1596 dengan tujuan berdagang dan berhasil mendarat di Banten. Pada
tanggal 8 Maret 1942 Maskapai Siaran Radio Hindia-Belanda atau
Nederlandch-Indiche Radio Omeroep Maatschappij (NIROM) menghentikan
siarannya di Indonesia sehubungan dengan menyerahnya Belanda kepada
Jepang.
Dengan demikian perhitungan waktu lamanya penjajahan Belanda di Indonesia dihitung sejak 1596 hingga 1942. Benarkah demikian? Menurut Nina Helina L, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, tidak demikian. Melalui tulisannya yang dimuat pada Nastional Geographic Indonesia edisi Pebruari 2010, (pernah dimuat di harian Pikiran Rakyat, 8 Maret 2008) memaparkan secara jelas mengenai sejarah penjajahan Belanda.
KEDATANGAN PENJAJAH.
Pada 1511, Portugis berhasil menguasai Malaka, sebuah emporium yang menghubungkan perdagangan dari India dan Cina. Dengan menguasai Malaka, Portugis berhasil mengendalikan perdagangan rempah-rempah seperti lada, cengkih, pala, dan fuli dari Sumatra dan Maluku. Pada 1512, D’Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di Banten, Sundakelapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan nakoda-nakoda Jawa, armada itu tiba di kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba di Ternate.
Di Ternate, Portugis mendapat izin untuk membangun sebuah benteng. Portugis memantabkan kedudukannya di Maluku dan sempat meluaskan pendudukannya ke Timor. Dengan semboyan “gospel, glory, and gold” mereka juga sempat menyebarkan agama Katolik, terutama Maluku. Waktu itu Nusantara hanyalah salah satu mata rantai saja dalam dunia perdagangan milik Portugis yang menguasai separuh dunia ini (separuh lagi milik Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam Perjanjian Tordesillas tahun 1493.Portugis menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100 mil di sebelah barat Semenanjung Verde, terus ke Timur melalui Goa di India, hingga kepulauan rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai Spanyol.
Sejak dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan jalan dagang ke Asia yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke-16. Pada 1595 sebuah perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre membiayai sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara. Ekspedisi yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman ini membawa empat buah kapal. Setelah menempuh perjalanan empat belas bulan, pada 22 Juni 1596, mereka berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal kedatangan Belanda di Nusantara.
Setelah kunjungan pertama yag dipimpin Cornelis de Houtman tidak berhasil, pada 1 Mei 1598, Perseroan Amsterdam mengirim kembali rombongan perdagangan ke Nusantara di bawah pimpinan Jacob van Neck, van Heemkerck, dan van Waewijck berhasil mengambil simpati penguasa Banten sehingga para pedagang Belanda ini diperbolehkan berdagang di Pelabuhan Banten. Kapal-kapal Belanda yang kembali ke negerinya membawa muatan penuh, sedangkan kapal yang lain meneruskan perjalanan ke Maluku untuk mencari cengkih dan pala.
Ramainya perdagangan di perairan Nusantara, persaingan dan konflik meningkat. Baik sesama pedagang Belanda maupun dengan pedagang asing lainnya seperti Portugis dan Inggris. Pada 1602, Belanda membentuk suatu wadah perdagangan untuk mengatasi persaingan perdagangan yang tidak sehat. Wadah itu diberi nama Verenegde Oost-Indiche Compagnie (Serikat Perusahaan Hindia Timur) disingkat VOC.
Pemerintah Belanda memeberikan izin dagang pada VOC. VOC diberi kebebasan untuk mengadakan diplomasi di Asia, boleh menjalankan perang dan memiliki angkatan perang sendiri, bahkan merebut wilayah-wilayah Asia yang dianggap strategis bagi perdagannya. VOC diperbolehkan memiliki mata uang sendiri. VOC semakin besar dan menguasai perdagangan di wilayah Asia, dengan kekuasaan ini akhirnya VOC menjadi “Negara dalam Negara” dan dengan itu pula mulai masa Jan Peterszoon Coen (1619 – 1623, 1627-1629) sampai masa Cornelis Speelman (1681-1684) menjadi Gubernur Jendral VOC, kota-kota pusat perdagangan rempah-rempah di Nusantara dikuasai VOC dengan pusat kedudukan di Batavia sejak 1619.
Ambon dikuasai tahun 1630. Beberapa kota pelabuhan di pulau Jawa baru diserahkan Mataram ke pada Belanda tahun 1677-1705. Sementara di daerah pedalaman raja-raja dan bupati masih berkuasa penuh. Peranan mereka menjadi perantara penguasa VOC dengan rakyat.
Akhirnya pada 1799, VOC secara resmi dibubarkan akibat korupsi yang parah mulai kelas rendahan sampai pejabat tinggi negara. Lalu pemerintah Belanda menyita semua aset VOC untuk membayar utang-utangnya, termasuk wilayah-wilayah yang dikuasai di Indonesia.
Selama satu abad kemudian, Hindia Belanda berusaha melakukan konsulidasi kekuasaannya mulai dari Sabang sampai Merauke. Tentu saja hal ini mendapat perlawanan yang keras di seluruh Nusantara. Perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908 ), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah ( 1852-1908 ) , Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh (1873-1912). Perang baru berakhir dengan berakhirnya Perang Aceh pada tahun 1912.
Setelah tahun 1912, Belanda baru benar-benar menjajah seluruh wilayah yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia (kecuali Timor Timur). Jangan lupa bahwa antara 1811-1816, Pemerintah Hindia Belanda sempat diselingi oleh pemerintahan interregnum (pengantara) Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.
Dengan demikian perhitungan waktu lamanya penjajahan Belanda di Indonesia dihitung sejak 1596 hingga 1942. Benarkah demikian? Menurut Nina Helina L, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, tidak demikian. Melalui tulisannya yang dimuat pada Nastional Geographic Indonesia edisi Pebruari 2010, (pernah dimuat di harian Pikiran Rakyat, 8 Maret 2008) memaparkan secara jelas mengenai sejarah penjajahan Belanda.
KEDATANGAN PENJAJAH.
Pada 1511, Portugis berhasil menguasai Malaka, sebuah emporium yang menghubungkan perdagangan dari India dan Cina. Dengan menguasai Malaka, Portugis berhasil mengendalikan perdagangan rempah-rempah seperti lada, cengkih, pala, dan fuli dari Sumatra dan Maluku. Pada 1512, D’Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di Banten, Sundakelapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan nakoda-nakoda Jawa, armada itu tiba di kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba di Ternate.
Di Ternate, Portugis mendapat izin untuk membangun sebuah benteng. Portugis memantabkan kedudukannya di Maluku dan sempat meluaskan pendudukannya ke Timor. Dengan semboyan “gospel, glory, and gold” mereka juga sempat menyebarkan agama Katolik, terutama Maluku. Waktu itu Nusantara hanyalah salah satu mata rantai saja dalam dunia perdagangan milik Portugis yang menguasai separuh dunia ini (separuh lagi milik Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam Perjanjian Tordesillas tahun 1493.Portugis menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100 mil di sebelah barat Semenanjung Verde, terus ke Timur melalui Goa di India, hingga kepulauan rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai Spanyol.
Sejak dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan jalan dagang ke Asia yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke-16. Pada 1595 sebuah perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre membiayai sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara. Ekspedisi yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman ini membawa empat buah kapal. Setelah menempuh perjalanan empat belas bulan, pada 22 Juni 1596, mereka berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal kedatangan Belanda di Nusantara.
Setelah kunjungan pertama yag dipimpin Cornelis de Houtman tidak berhasil, pada 1 Mei 1598, Perseroan Amsterdam mengirim kembali rombongan perdagangan ke Nusantara di bawah pimpinan Jacob van Neck, van Heemkerck, dan van Waewijck berhasil mengambil simpati penguasa Banten sehingga para pedagang Belanda ini diperbolehkan berdagang di Pelabuhan Banten. Kapal-kapal Belanda yang kembali ke negerinya membawa muatan penuh, sedangkan kapal yang lain meneruskan perjalanan ke Maluku untuk mencari cengkih dan pala.
Ramainya perdagangan di perairan Nusantara, persaingan dan konflik meningkat. Baik sesama pedagang Belanda maupun dengan pedagang asing lainnya seperti Portugis dan Inggris. Pada 1602, Belanda membentuk suatu wadah perdagangan untuk mengatasi persaingan perdagangan yang tidak sehat. Wadah itu diberi nama Verenegde Oost-Indiche Compagnie (Serikat Perusahaan Hindia Timur) disingkat VOC.
Pemerintah Belanda memeberikan izin dagang pada VOC. VOC diberi kebebasan untuk mengadakan diplomasi di Asia, boleh menjalankan perang dan memiliki angkatan perang sendiri, bahkan merebut wilayah-wilayah Asia yang dianggap strategis bagi perdagannya. VOC diperbolehkan memiliki mata uang sendiri. VOC semakin besar dan menguasai perdagangan di wilayah Asia, dengan kekuasaan ini akhirnya VOC menjadi “Negara dalam Negara” dan dengan itu pula mulai masa Jan Peterszoon Coen (1619 – 1623, 1627-1629) sampai masa Cornelis Speelman (1681-1684) menjadi Gubernur Jendral VOC, kota-kota pusat perdagangan rempah-rempah di Nusantara dikuasai VOC dengan pusat kedudukan di Batavia sejak 1619.
Ambon dikuasai tahun 1630. Beberapa kota pelabuhan di pulau Jawa baru diserahkan Mataram ke pada Belanda tahun 1677-1705. Sementara di daerah pedalaman raja-raja dan bupati masih berkuasa penuh. Peranan mereka menjadi perantara penguasa VOC dengan rakyat.
Akhirnya pada 1799, VOC secara resmi dibubarkan akibat korupsi yang parah mulai kelas rendahan sampai pejabat tinggi negara. Lalu pemerintah Belanda menyita semua aset VOC untuk membayar utang-utangnya, termasuk wilayah-wilayah yang dikuasai di Indonesia.
Selama satu abad kemudian, Hindia Belanda berusaha melakukan konsulidasi kekuasaannya mulai dari Sabang sampai Merauke. Tentu saja hal ini mendapat perlawanan yang keras di seluruh Nusantara. Perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908 ), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah ( 1852-1908 ) , Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh (1873-1912). Perang baru berakhir dengan berakhirnya Perang Aceh pada tahun 1912.
Setelah tahun 1912, Belanda baru benar-benar menjajah seluruh wilayah yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia (kecuali Timor Timur). Jangan lupa bahwa antara 1811-1816, Pemerintah Hindia Belanda sempat diselingi oleh pemerintahan interregnum (pengantara) Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.
Spoiler for SAAT-SAAT AKHIR PENJAJAHAN.:
Berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia, bermula dari seranga angkatan udara Jepang membombardir pangkalan laut Amerika di Pearl Harbor, Hawaii. Tepatnya pada tanggal 7 Desember 1941. Akibat serangan itu kekuatan Amerika dan sekutunya di Timur Jauh lumpuh. Amerika menyatakan perang terhadap Jepang, demikian juga Belanda juga menyatakan perang terhadap Jepang.
Pernyataan perang oleh Belanda yang disampaikan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Jendral Tjarda van Starkenborgh Stachouwer melalui siaran radio pada tanggal 18 Desember 1941 jam 06.30, direspon oleh Jepang dengan menyatakan perang terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Jepang menghancurkan armada Sekutu dalam pertempuran di laut Jawa dan dengan mudah mendaratkan pasukannya di beberapa tempat di Pulau Jawa.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memusatkan pertahanannya di sekitar pegunungan Bandung. Kekuatan militer Hindia Belanda sekitar 40.000 prajurit termasuk pasukan Inggris, AS, dan Australia. Markas besar pasukan Sekutu ada di Lembang dipimpin panglima Letjen H. Ter Poorten dari tentara Hindia Belanda (KNIL). Pasukan Jepang yang mendarat di Eretan Wetan adalah Detasemen Siyoji yang memiliki 5.000 prajurit yang khusus ditugasi untuk merebut Bandung. Pasukan Jepang masuk ke Bandung melalui beberapa penjuru, ada yang melalui Anjatan, Pemanukan, sebagian melalui Sungai Cipunegara. Batalion Wakamatsu dapat merebut lapangan terbang Kalijati tanpa perlawanan berarti dari Angkatan Udara Inggris yang menjaga lapangan udara itu.
Pada 5 Maret 1942, detasemen Jepang menyerbu Ciater, akibatnya Belanda mundur ke Lembang sebagai pertahanan terakhir. Namun pada akhirnya pada 7 Maret 1942 Lembang jatuh ke tangan tentara Jepang. Pihak Belanda mengirim utusan ke Lembang untuk merundingkan masalah ini. Pihak Jepang menghendaki perundingan diadakan di Subang pada 8 Maret 1942 pagi, akan tetapi Belanda menolak. Akhirnya Jendra Imamura mengeluarkan peringatan bahwa “Bila pada 8 Maret 1942 pukul 10.00 pagi para pembesar Belanda belum juga berangat ke Kalijati maka Bandung akan dibom sampai hancur”. Dalam hal ini Jepang tidak hanya sekedar mengertak, dibuktikan dengan pesawat-pesawat pengebom Jepang dalam jumlah besar berada di atas Kota Bandung. Melihat kenyataan itu, Letnan Jendral Ter Poorten dan Gubernur Jendral Tjarda beserta para pembesar Belanda lainnya berangkat ke Kalijati sesuai tanggal dan jam yang telah ditentukan. Setelah melalui tawar menawar dalam perundingan tersebut, akhirnya Letnan Jendral Ter Poorten dan Gubernur Jendral Tjarda menyerahkan seluruh wilayah Hindia Belanda kepada Jepang tanpa syarat. Itulah akhir dari penjajahan Belanda, setelah itu Jepang menduduki Indonesia hingga akhirnya merdeka 17 Agustus 1945.
Pada 7 Desember 1941, Angkatan Udara Jepang di bawah pimpinan Laksamana Nagano melancarkan serangan mendadak ke pangkalan angkatan laut AS di Pearl Harbour, Hawaii. Akibat serangan itu kekuatan angkatan laut AS di Timur Jauh lumpuh. AS pun menyatakan perang terhadap Jepang. Demikian pula Belanda sebagai salah satu sekutu AS menyatakan perang terhadap Jepang.
Pada 18 Desember 1941, pukul 06.30, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer melalui radio menyatakan perang terhadap Jepang. Pernyataan perang tersebut kemudian direspons oleh Jepang dengan menyatakan perang juga terhadap Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1942. Setelah armada Sekutu dapat dihancurkan dalam pertempuran di Laut Jawa maka dengan mudah pasukan Jepang mendarat di beberapa tempat di pantai utara Pulau Jawa.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memusatkan pertahanannya di sekitar pegunungan Bandung. Pada waktu itu kekuatan militer Hindia Belanda di Jawa berjumlah empat Divisi atau sekitar 40.000 prajurit termasuk pasukan Inggris, AS, dan Australia. Pasukan itu di bawah komando pasukan sekutu yang markas besarnya di Lembang dan Panglimanya ialah Letjen H. Ter Poorten dari Tentara Hindia Belanda (KNIL). Selanjutnya kedudukan Pemerintah Kolonial Belanda dipindahkan dari Batavia (Jakarta) ke Kota Bandung.
Pasukan Jepang yang mendarat di Eretan Wetan adalah Detasemen Syoji. Pada saat itu satu detasemen pimpinannya berkekuatan 5.000 prajurit yang khusus ditugasi untuk merebut Kota Bandung. Satu batalion bergerak ke arah selatan melalui Anjatan, satu batalion ke arah barat melalui Pamanukan, dan sebagian pasukan melalui Sungai Cipunagara. Batalion Wakamatsu dapat merebut lapangan terbang Kalijati tanpa perlawanan berarti dari Angkatan Udara Inggris yang menjaga lapangan terbang itu.
Pada 5 Maret 1942, seluruh detasemen tentara Jepang yang ada di Kalijati disiapkan untuk menggempur pertahanan Belanda di Ciater dan selanjutnya menyerbu Bandung. Akibat serbuan itu tentara Belanda dari Ciater mundur ke Lembang yang dijadikan benteng terakhir pertahanan Belanda.
Pada 6 Maret 1942, Panglima Angkatan Darat Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten memerintahkan Komandan Pertahanan Bandung Mayor Jenderal J. J. Pesman agar tidak mengadakan pertempuran di Bandung dan menyarankan mengadakan perundingan mengenai penyerahan pasukan yang berada di garis Utara-Selatan yang melalui Purwakarta dan Sumedang. Menurut Jenderal Ter Poorten, Bandung pada saat itu padat oleh penduduk sipil, wanita, dan anak-anak, dan apabila terjadi pertempuran maka banyak dari mereka yang akan jadi korban.
Pada 7 Maret 1942 sore hari, Lembang jatuh ke tangan tentara Jepang. Mayjen J. J. Pesman mengirim utusan ke Lembang untuk merundingkan masalah itu. Kolonel Syoji menjawab bahwa untuk perundingan itu harus dilakukan di Gedung Isola (sekarang gedung Rektorat UPI Bandung). Sementara itu, Jenderal Imamura yang telah dihubungi Kolonel Syoji segera memerintahkan kepada bawahannya agar mengadakan kontak dengan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer untuk mengadakan perundingan di Subang pada 8 Maret 1942 pagi. Akan tetapi, Letnan Jenderal Ter Poorten meminta Gubernur Jenderal agar usul itu ditolak.
Jenderal Imamura mengeluarkan peringatan bahwa “Bila pada 8 Maret 1942 pukul 10.00 pagi para pembesar Belanda belum juga berangkat ke Kalijati maka Bandung akan dibom sampai hancur.” Sebagai bukti bahwa ancaman itu bukan sekadar gertakan, di atas Kota Bandung tampak pesawat-pesawat pembom Jepang dalam jumlah besar siap untuk melaksanakan tugasnya.
Melihat kenyataan itu, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda beserta para pembesar tentara Belanda lainnya berangkat ke Kalijati sesuai dengan tanggal dan waktu yang telah ditentukan. Pada mulanya Jenderal Ter Poorten hanya bersedia menyampaikan kapitulasi Bandung. Namun, karena Jenderal Imamura menolak usulan itu dan akan melaksanakan ultimatumnya. Akhirnya, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda menyerahkan seluruh wilayah Hindia Belanda kepada Jepang tanpa syarat. Keesokan harinya, 9 Maret 1942 pukul 08.00 dalam siaran radio Bandung, terdengar perintah Jenderal Ter Poorten kepada seluruh pasukannya untuk menghentikan segala peperangan dan melakukan kapitulasi tanpa syarat.
Itulah akhir kisah penjajahan Belanda. Setelah itu Jepang pun menduduki Indonesia hingga akhirnya merdeka 17 Agustus 1945. Jepang hanya berkuasa tiga tahun lima bulan delapan hari.
Spoiler for ANALISA DAN KESIMPULAN.:
Menurut Analisa Nina Helina L, dalam tulisannya yang dimuat dalam National Geographic Indonesia edisi Pebruari 2010, Belanda tidak pernah menjajah Indonesia sampai 350 tahun. Dasar analisanya adalah, kalau dihitung sejak 1596 sampai 1942, jumlahnya adalah 346 tahun. Namun, kedatangan Belanda tahun 1596 adalah sebagai pedagang, itupun gagal mendapat izin dagang. Sekitar 1613-1645, Sultan Agung dari Mataram, adalah raja besar yang menguasai sebagian besar wilayah Jawa, kecuali Batavia, Banten, dan Blambangan. Jadi, tidak bisa dikatakan Belanda sudah menjajah Pulau Jawa (yang menjadi bagian Indonesia kemudian).
Selama 100 tahun dari mulai terbentuknya Hindia Belanda pasca runtuhnya VOC (dipotong masa penjajahan Inggris selama 5 tahun), Belanda harus berusaha keras menaklukkan berbagai wilayah Nusantara hingga terciptanya Pax Neerlandica. Namun, hingga abad ke-19, beberapa kerajaan di Bali, dan awal abad ke-20, beberpa kerajaan di Nusa Tenggara masih mengadakan perjanjian sebagai Negara bebas (secara hukum internasional) dengan Belanda. Aceh hingga 1912 adalah kerajaan yang masih berdaulat. sehingga orang aceh hanya mengakui dijajah selama 33 tahun saja.
Bagian akhir tulisan Nina Herlina L, mengambil kesimpulan bahwa, tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Yang benar adalah, Belanda memerlukan waktu 300 tahun untuk menguasai seluruh Nusantara
Spoiler for sumber: