Antara Idul Adha, Qurban dan Poligami


Oleh Ust. Hatta Syamsuddin*

Setiap kali jelang Idul Adha, selalu ada perasaan menggelitik dalam hati, kenapa kita menyambutnya dengan relatif biasa-biasa saja. Hari ini kurang lebih dua hari sebelum Idul Adha, nyaris tak ada kesibukan persiapan untuk memeriahkannya. Terbayang saat yang sama jelang Idul Fitri, nyaris semua persiapan menyambut lebaran sudah 90% disiagakan. Dari mulai tiket mudik, baju baru, kue kering hingga uang angpau sudah tersiapkan. Sungguh jauh berbeda saat kita menyambut Idul Adha seperti hari-hari ini.

Jelas tak terbantahkan adanya perbedaan yang terbentang pada cara kita menyambut dua hari raya. Saya ingin coba melihatnya dari sisi syariat dan budaya.

Pada tataran Syariat, sesungguhnya tidak ada satu dalilpun yang menyebutkan keistimewaan lebih salah satu dari dua hari raya tersebut. Keduanya adalah setara, dan sama-sama anugerah yang diberikan Allah kepada kaum muslimin untuk menyambutnya dengan penuh suka cita. Bahkan Rasulullah SAW menyebutkan hari Tasyriq saja sebagai: "itu adalah hari (untuk) makan-makan, minum dan mengingat Allah" (HR Muslim).

Namun dari sisi budaya dan tradisi menyambut dua hari raya ternyata berbeda. Hampir sebagian wilayah Indonesia menyambut Idul Fitri dengan penuh gegap gempita, berbeda dengan Idul Adha. Namun, di belahan bumi yang lain, di Mesir misalnya, Idul Adha diperingati jauh lebih meriah, bahkan disebut dengan Ied Kabir (hari raya besar), sedang Idul Fitri disebut dengan Ied Shogir (hari raya kecil). Tidak perlu jauh-jauh ke Mesir sebenarnya, masyarakat Madura ternyata juga ‘sukses’ membuat Idul Adha semeriah idul Fitri, atau bahkan lebih meriah. Mereka memiliki budaya ‘toron’ atau pulang kampung berkumpul bersama keluarga. Jadi, budayalah yang membedakan cara kita menyambut dua hari raya itu.

Mengubah budaya yang sudah mengakar dan turun menurun kita jalani tentu hal yang susah. Tapi berupaya mendekatkan diri kepada syariat tentu harus terus diupayakan. Mari kita mulai dari diri pribadi untuk lebih ‘adil’ dalam memperlakukan dua hari raya, bahwa keduanya secara syariat adalah setara dan sama-sama harus diagungkan dan dimeriahkan syiarnya. Tidak sepatutnya kita mempertahankan budaya ‘pilih kasih’ dalam menyambut dua hari raya.

Berbicara soal adil dan pilih kasih, saya bisa ibaratkan dengan syariat poligami atau seorang suami yang memiliki lebih dari satu istri. Dalam poligami, seorang suami harus berlaku adil pada semua istrinya. Adil dalam hal apakah yang dituntut dari sang suami? Kalau bicara adil dari sisi perasaan, adalah hal yang abstrak dan manusia tidak bisa membohongi apa yang ada dalam hatinya. Bahkan Rasulullah SAW tidak bisa menghindarkan kesan bahwa Aisyah adalah yang paling beliau cintai di hatinya dibandingkan istri yang lain. Karena itu yang dituntut adil dalam syariat poligami adalah hal yang dhohir (jelas terlihat) seperti pemberian nafkah dan pergiliran hari kunjungan.

Maka begitu pula dalam menyambut kedua Hari Raya, untuk memaksakan diri agar saat menyambut Idul Adha bisa sesemangat dan sebahagia saat Idul Fitri adalah hal yang sulit. Mengingat sebelum Idul Fitri suasana dan hati kita telah dikondisikan sebulan penuh melalui puasa dan aneka ibadah bulan Ramadhan, jelas tentu akan berbeda. Namun setidaknya –sebagaimana poligami- marilah kita berusaha untuk adil dalam menyambut dua Hari Raya, dari sisi yang dhohir yaitu dalam hal ini pengeluaran keuangan.

Tentu kita masih ingat berapa pengeluaran kita saat menyambut Idul Fitri? Sebut saja dari mulai tiket mudik, baju baru, kue-kue lebaran, belum lagi angpau yang kita bagikan pada saudara dan tetangga. Nah semua pengeluaran Idul Fitri sebenarnya bersifat ‘budaya’ saja, artinya tidak terkait langsung dengan syariat Idul Fitri, tapi meskipun demikian kita rela mengeluarkan kocek begitu dalam untuk melanjutkan aneka tradisi Idul Fitri tersebut. Pengeluaran Idul Fitri standar sebuah keluarga kecil saat ini, saya yakin melebih harga satu ekor kambing yang standar, di kisaran 2-3 juta. Di sinilah kita layak merenung, bagaimana dengan pengeluaran kita saat Idul Adha? Apakah bisa disebut “adil” jika untuk menghidupkan aneka ragam tradisi lebaran Idul Fitri kita rela dan siap mengeluarkan banyak dana, sementara untuk menghidupkan “syariat” Idul Adha dengan berqurban terkadang ada yang masih ragu dan malu-malu, atau bahkan merasa tak harus berqurban meski terbukti mampu?

Maka bagi yang sampai saat ini masih ragu berqurban, sementara saat Idul Fitri begitu semangat menghabiskan dana yang dipunya untuk aneka ragam keperluan lebaran, rasanya perlu banyak merenung seputar: apakah kita sudah adil dalam menyambut kedua hari raya sesuai tuntunan syariat, yang keduanya setara dan sama-sama harus diagungkan.

Anas bin Malik pernah mengatakan “kami diperintahkan oleh Rasulullah SAW pada dua hari raya untuk memakai pakaian terbaik yang bisa kami dapatkan, dan memakai wangi-wangian terbaik yang bisa kami dapatkan, dan menyembelih hewan qurban paling mahal yang bisa kami usahakan”(HR Abu Daud)

Akhirnya, jika saat ini kita masih belum sesemangat saat menyambut Idul Fitri mungkin masih bisa dipahami dan meski tetap harus diperbaiki. Akan tapi jika secara keuangan ternyata kita terlalu pilih kasih membedakan keduanya, rasanya kita masih jauh untuk mencapai ‘Adil” tersebut, dan pemahaman kita seputar “syariat” dan “tradisi” harus terus dibenahi.

Wallahu a’lam bisshowab.

Selamat menyambut Idul Adha. Taqobbalallahu minna wa minkum.

*Sumber: http://www.indonesiaoptimis.com/2015/09/antara-idul-adha-qurban-dan-poligami.html