Jumat, 28 Agustus 2015 | 09:27 WIB
LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com
– Pengamat politik dan keamanan dari Universitas Syah Kuala, Aceh,
Aryos Nivada menyesalkan sikap polisi yang menembak mati Junaidi alias
Beureujuk di area Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU) Batuphat, Kecamatan
Muara Satu, Kota Lhokseumawe, Kamis (27/8/2015) kemarin.
Aryos menilai, polisi seharusnya menangkap Junaidi dalam kondisi hidup. Jika pun terpaksa ditembak, maka ditembak pada bagian yang tidak mematikan seperti di betis dan kaki.
“Jangan polisi memaknai dilumpuhkan itu ya ditembak mati, masa dengan keahlian menembak di bagian kaki tidak bisa, apalagi polisi jago bela diri masa tidak bisa melumpuhkan secara fisik setelah ditembak kakinya,” kata Aryos, Jumat (28/8/2015).
Dia menyebutkan, penumpasan kelompok Din Minimi harus tinjau sebagai tindak kriminalitas biasa. Bukan sebagai kelompok teroris yang kemudian harus ditembak mati.
Dia juga menilai, polisi seperti kehilangan sifat humanis dalam menumpas dan melumpuhkan kelompok Din Minimi. “Jangan sampai publik menilai cara bertindak Polda Aceh mengatasi kelompok Din Minimi lost control dalam prosedur operasi penangkapan, bahkan terkesan paranoid terhadap kelompok Din Minimi. Ini juga menunjukan reformasi kepolisian belum tuntas karena telah lunturnya sifat humanis,” ujarnya.
Untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran hak azasi manusia (HAM) dalam penembakan Junaidi, Aryos meminta agar Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) mengusut penembakan tersebut.
Dia juga meminta agar kelompok sipil melakukan investigasi independen, sehingga bisa diketahui apakah polisi bekerja sesuai prosedur atau menyalahi prosedur.
Sebelumnya, Kepala Polres Lhokseumawe AKBP Anang Triarsono menyebutkan, Junaidi ditembak karena berusaha melarikan diri, saat ditangkap petugas.
Junaidi adalah anggota Din Minimi, pria yang paling dicari aparat keamanan di Aceh karena diduga terlibat sejumlah aksi kejahatan. Sepekan lalu, polisi juga menembak mati anggota Din Minimi lainnya yaitu Ridwan di Desa Pulo Meuria, Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara.
Aryos menilai, polisi seharusnya menangkap Junaidi dalam kondisi hidup. Jika pun terpaksa ditembak, maka ditembak pada bagian yang tidak mematikan seperti di betis dan kaki.
“Jangan polisi memaknai dilumpuhkan itu ya ditembak mati, masa dengan keahlian menembak di bagian kaki tidak bisa, apalagi polisi jago bela diri masa tidak bisa melumpuhkan secara fisik setelah ditembak kakinya,” kata Aryos, Jumat (28/8/2015).
Dia menyebutkan, penumpasan kelompok Din Minimi harus tinjau sebagai tindak kriminalitas biasa. Bukan sebagai kelompok teroris yang kemudian harus ditembak mati.
Dia juga menilai, polisi seperti kehilangan sifat humanis dalam menumpas dan melumpuhkan kelompok Din Minimi. “Jangan sampai publik menilai cara bertindak Polda Aceh mengatasi kelompok Din Minimi lost control dalam prosedur operasi penangkapan, bahkan terkesan paranoid terhadap kelompok Din Minimi. Ini juga menunjukan reformasi kepolisian belum tuntas karena telah lunturnya sifat humanis,” ujarnya.
Untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran hak azasi manusia (HAM) dalam penembakan Junaidi, Aryos meminta agar Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) mengusut penembakan tersebut.
Dia juga meminta agar kelompok sipil melakukan investigasi independen, sehingga bisa diketahui apakah polisi bekerja sesuai prosedur atau menyalahi prosedur.
Sebelumnya, Kepala Polres Lhokseumawe AKBP Anang Triarsono menyebutkan, Junaidi ditembak karena berusaha melarikan diri, saat ditangkap petugas.
Junaidi adalah anggota Din Minimi, pria yang paling dicari aparat keamanan di Aceh karena diduga terlibat sejumlah aksi kejahatan. Sepekan lalu, polisi juga menembak mati anggota Din Minimi lainnya yaitu Ridwan di Desa Pulo Meuria, Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara.
Penulis | : Kontributor Lhokseumawe, Masriadi |
Editor | : Glori K. Wadrianto |