Kamis, 27 Agustus 2015 | 08:30 WIB
Terkait
- Burger King Ajukan "Gencatan Senjata" dalam "Perang Burger", McDonald's Menolak
- Ketum MUI Usulkan Nama Tuhan Diganti Jadi Hamba Tuhan
- Amankah Menyimpan Parfum hingga Bertahun-tahun?
- Skenario Undian Fase Grup Liga Champions, Bakal Ada Grup Neraka
- Sulitnya Memilih Ketua RT di Blok D Rusun Cibesel Jatinegara
JAKARTA, KOMPAS.com
- Pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Ganjar
Laksamana mengkritik langkah Bareskrim Polri dalam pengusutan dugaan
penimbunan sapi siap potong. Meski mengapresiasi langkah cepat
Bareskrim, menurut Ganjar, Polri tidak melakukan langkah terukur dalam
pengusutan perkara itu.
Hal itu terlihat dari proses penyelidikan yang menemui jalan buntu karena penyidik tak menemukan dasar hukum untuk menindak para pengusaha yang kedapatan menahan stok sapi pada dua feedlotter di Tangerang, beberapa waktu lalu.
"Poinnya, janganlah Polri buru-buru maunya langsung memidanakan orang. Sekarang jadi pusing sendiri kan? Kalau pun mau demikian, ya harusnya langkahnya terukur," ujar Ganjar saat dihubungi Kompas.com, pada Kamis (28/8/2015) pagi.
Ganjar menjelaskan, langkah terukur yang seharusnya dilakukan Polri adalah memastikan dasar hukum atau rencana konstruksi perkara yang menentukan apakah Polri harus melakukan penyelidikan atau tidak saat ditemukan ribuan stok sapi siap potong. Polri tak hanya memiliki fungsi penegakan hukum, melainkan juga menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Untuk ini, pendekatan yang dilakukan adalah sosialisasi. Artinya, tak seluruhnya peristiwa pelanggaran harus dikenakan proses pidana.
"Begitu menemukan ada ribuan sapi yang tak dilepas ke pasar, ya bisa kan disuruh langsung dilepas saja. Dengan begitu kondisi kembali ke normal juga kok," lanjut Ganjar.
Apalagi, sapi yang ditemukan Bareskrim itu hanya berjumlah sekitar lima ribuan ekor.
"Atau jangan-jangan enggak cuma di dua TKP itu saja yang berhenti melepas sapi ke pasar. Ya yang lainnya harusnya digerebek juga dong dilakukan proses hukum yang sama," kata dia.
Jika kini penyidik menemui jalan buntu untuk memidanakan pengusaha yang kedapatan menahan stok sapi, Ganjar menyarankan Polri untuk menggunakan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Segala tindak pidana yang terkait ekonomi, lanjut Ganjar, bisa dipidanakan melalui UU tersebut.
Jalan buntu
Sebelumnya, penyelidikan kasus penimbunan sapi di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri menemui jalan buntu. Penyidik tak menemukan dasar hukum untuk menjerat pemilik feedlotter yang menahan stok sapi siap potong.
Awalnya, penyidik yang dipimpin langsung Kepala Bareskrim Polri Komjen Budi Waseso menggerebek dua feedlotter di Tangerang, Rabu (12/8/2015). Pada dua tempat itu penyidik menemukan 21.933 ekor sapi di mana sekitar 5.000 di antaranya siap potong. Polisi menduga pengusaha menimbun sapi siap potong sehingga menyebabkan gejolak harga di pasaran. Sebab, pada saat itu, harga daging sapi di Jabodetabek telah menyentuh Rp 120.000.
Tiga orang pemilik feedlotter berinisial BH, PH, dan SH, beberapa orang karyawannya, pejabat Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan diperiksa atas kasus itu sebagai saksi. Penyidik akan menggunakan Pasal 29 juncto Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan untuk menjerat si pengusaha feedlotter.
Namun, saat gelar perkara yang dilaksanakan Senin (24/8/2015), tiga saksi ahli yakni pejabat Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan menyebutkan aksi menahan stok sapi itu tidak termasuk unsur penimbunan barang penting. Dasar saksi ahli itu yakni Pasal 11 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Ayat (1) berbunyi "Dalam hal terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dilarang disimpan di gudang dalam jumlah dan waktu tertentu".
Ada pun, ayat (2) pasal yang sama berbunyi, "jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu jumlah di luar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan, untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama tiga bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal". Artinya, jika rata-rata penjualan di feedlotter itu 150 ekor per hari, jumlah yang masuk kategori penimbunan sekitar 13.000 ekor sapi.
Sementara, pada dua feedlotter itu, penyidik hanya mendapati 5.000-an ekor sapi sehingga tidak termasuk kategori penimbunan.
Revisi bukan solusi
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Victor E. Simanjuntak berharap Presiden merevisi Perpres itu. Namun, ia menyadari bahwa revisi itu tak akan terlalu berdampak. Sebab, sebuah peraturan yang baru tidak berlaku surut. Meski Presiden merevisi Perpres itu, polisi tetap tidak dapat menjadikannya pegangan untuk memidanakan perbuatan yang terjadi sebelumnya.
Victor mengatakan, pengusutan kasus ini tak akan berhenti. Polisi akan memeriksa saksi ahli dari akademisi untuk mencari celah hukum dalam perkara itu. Selain itu, perkara itu juga masih pada tahap penyelidikan sehingga tidak ada mekanisme surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
"Kita tetap berupaya yang terbaiklah dalam kasus ini," ujar dia.
Hal itu terlihat dari proses penyelidikan yang menemui jalan buntu karena penyidik tak menemukan dasar hukum untuk menindak para pengusaha yang kedapatan menahan stok sapi pada dua feedlotter di Tangerang, beberapa waktu lalu.
"Poinnya, janganlah Polri buru-buru maunya langsung memidanakan orang. Sekarang jadi pusing sendiri kan? Kalau pun mau demikian, ya harusnya langkahnya terukur," ujar Ganjar saat dihubungi Kompas.com, pada Kamis (28/8/2015) pagi.
Ganjar menjelaskan, langkah terukur yang seharusnya dilakukan Polri adalah memastikan dasar hukum atau rencana konstruksi perkara yang menentukan apakah Polri harus melakukan penyelidikan atau tidak saat ditemukan ribuan stok sapi siap potong. Polri tak hanya memiliki fungsi penegakan hukum, melainkan juga menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Untuk ini, pendekatan yang dilakukan adalah sosialisasi. Artinya, tak seluruhnya peristiwa pelanggaran harus dikenakan proses pidana.
"Begitu menemukan ada ribuan sapi yang tak dilepas ke pasar, ya bisa kan disuruh langsung dilepas saja. Dengan begitu kondisi kembali ke normal juga kok," lanjut Ganjar.
Apalagi, sapi yang ditemukan Bareskrim itu hanya berjumlah sekitar lima ribuan ekor.
"Atau jangan-jangan enggak cuma di dua TKP itu saja yang berhenti melepas sapi ke pasar. Ya yang lainnya harusnya digerebek juga dong dilakukan proses hukum yang sama," kata dia.
Jika kini penyidik menemui jalan buntu untuk memidanakan pengusaha yang kedapatan menahan stok sapi, Ganjar menyarankan Polri untuk menggunakan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Segala tindak pidana yang terkait ekonomi, lanjut Ganjar, bisa dipidanakan melalui UU tersebut.
Jalan buntu
Sebelumnya, penyelidikan kasus penimbunan sapi di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri menemui jalan buntu. Penyidik tak menemukan dasar hukum untuk menjerat pemilik feedlotter yang menahan stok sapi siap potong.
Awalnya, penyidik yang dipimpin langsung Kepala Bareskrim Polri Komjen Budi Waseso menggerebek dua feedlotter di Tangerang, Rabu (12/8/2015). Pada dua tempat itu penyidik menemukan 21.933 ekor sapi di mana sekitar 5.000 di antaranya siap potong. Polisi menduga pengusaha menimbun sapi siap potong sehingga menyebabkan gejolak harga di pasaran. Sebab, pada saat itu, harga daging sapi di Jabodetabek telah menyentuh Rp 120.000.
Tiga orang pemilik feedlotter berinisial BH, PH, dan SH, beberapa orang karyawannya, pejabat Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan diperiksa atas kasus itu sebagai saksi. Penyidik akan menggunakan Pasal 29 juncto Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan untuk menjerat si pengusaha feedlotter.
Namun, saat gelar perkara yang dilaksanakan Senin (24/8/2015), tiga saksi ahli yakni pejabat Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan menyebutkan aksi menahan stok sapi itu tidak termasuk unsur penimbunan barang penting. Dasar saksi ahli itu yakni Pasal 11 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Ayat (1) berbunyi "Dalam hal terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dilarang disimpan di gudang dalam jumlah dan waktu tertentu".
Ada pun, ayat (2) pasal yang sama berbunyi, "jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu jumlah di luar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan, untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama tiga bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal". Artinya, jika rata-rata penjualan di feedlotter itu 150 ekor per hari, jumlah yang masuk kategori penimbunan sekitar 13.000 ekor sapi.
Sementara, pada dua feedlotter itu, penyidik hanya mendapati 5.000-an ekor sapi sehingga tidak termasuk kategori penimbunan.
Revisi bukan solusi
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Victor E. Simanjuntak berharap Presiden merevisi Perpres itu. Namun, ia menyadari bahwa revisi itu tak akan terlalu berdampak. Sebab, sebuah peraturan yang baru tidak berlaku surut. Meski Presiden merevisi Perpres itu, polisi tetap tidak dapat menjadikannya pegangan untuk memidanakan perbuatan yang terjadi sebelumnya.
Victor mengatakan, pengusutan kasus ini tak akan berhenti. Polisi akan memeriksa saksi ahli dari akademisi untuk mencari celah hukum dalam perkara itu. Selain itu, perkara itu juga masih pada tahap penyelidikan sehingga tidak ada mekanisme surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
"Kita tetap berupaya yang terbaiklah dalam kasus ini," ujar dia.
Penulis | : Fabian Januarius Kuwado |
Editor | : Inggried Dwi Wedhaswary |